Selasa, 19 September 2017

WASPADAI KEBANGKITAN PKI !



Ketika perstiwa G 30 S / PKI terjadi  saya baru kelas dua SMP. Saya tidak mengerti politik saat itu. Tapi ingatan saya masih cukup untuk menerawang situasi sebelum dan sesudah peristiwa itu terjadi di daerah saya, di Bandung. Apalagi meski sekedar “kroco” saya pernah ikut-ikutan demonstrasi anti PKI.

Sebelum peristiwa itu terjadi, perekonomian rakyat kecil terasa begitu berat. Harga sembako khususnya beras mahal. Bukan omong kosong kalau rakyat banyak yang kelaparan. Makan nasi seadanya hanya satu kali sehari. Kadang nasi itu dicampur kacang merah atau jagung. Kadang makan nasi bulgur.

Masih terbayang saat saya ikut antri beli beras murah dan minyak tanah. Bahkan pernah antri pembagian nasi gratis. Uang saat itu susah didapat, daya beli masyarakat sangat lemah. Sekali lagi ini terjadi dikalangan rakyat kecil. Sementara mereka yang kaya tak mengalami kesulitan. Cukup jauh jarak sosial antara si kaya dengan si miskin.

Memasuki tahun 1965 PKI banyak melakukan propaganda dan provokasi. Yang saya ingat mereka banyak memasang spanduk dan billboard yang isinya menghasut rakyat untuk memerangi apa yang disebutnya kaum “borjuis” dan “Setan Desa”. Mereka seolah-olah pahlawan pembela rakyat kecil. Anehnya yang mereka sebut kaum borjuis itu dianalogikan sebagai muslim. Bahkan sebuah billboard besar terang-terangan memasang gambar tangan dengan symbol PKI sedang menghajar para haji.

Belakangan setelah saya baca-baca referensi, barulah saya mengerti kalau saat itu secara politik PKI sedang diatas angin. PKI sangat dekat dengan Presiden. Dan nyaris tak ada partai politik yang kuat menjadi lawan. Hanya Angkatan Darat yang dianggap saingan berat oleh PKI. Dan itu sebabnya pada peristiwa G 30 S / PKI sasaran kebiadaban terdiri dari jenderal-jenderal Angkatan Darat.

Kini memasuki bulan September, sewajarnya rakyat Indonesia mengingat kembali peristiwa pengkhianatan itu. PKI telah dua kali melakukan pengkhianatan yaitu tahun 1948 dan 1965. Tujuannya tetap : menjadikan Indonesia Negara komunis. Tidak mustahil antek-anteknya masih berkeliaran dan menyusup ke lembaga-lembaga tinggi Negara melalui Partai Politik dan Ormas. Siapa bisa menjamin kalau Parpol, Ormas, atau seseorang tidak berafiliasi dengan PKI ?

Waspadalah PKI itu licin…*





Sabtu, 27 Mei 2017

HTI DAN PKI



Tulisan ini tidak bermaksud menyamakan HTI ( Hizbut Tahrir Indonesia ) dengan PKI ( Partai Komunis Indonesia ), melainkan ingin membedakan secara tegas ormas dan parpol tersebut yang sama-sama dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia.
Di dalam sejarah nasional disebutkan bahwa PKI telah berkhianat pada NKRI melalui pemberontakan bersenjata, yaitu tahun 1948 dan 1965. Tujuan PKI jelas ingin merebut kekuasaan Pemerintahan yang sah, dan mengubah dasar Negara Pancasila menjadi komunis.

 
Niat PKI itu dimungkinkan karena Parpol ini memiliki modal  yang dapat digunakan untuk makar, yaitu kekuatan politik dan militer. Seperti yang terjadi pada tahun 1965. Pada waktu itu PKI seolah sedang berjaya. Sebagai Parpol besar, disamping memiliki kader dan massa yang cukup signifikan, tokoh-tokohnya berhasil menguasai legislatif dan eksekutif. Bahkan mempunyai akses langsung kepada Presiden, dan berhasil mempengaruhi sebagian komponen Angkatan Bersenjata.

PKI hampir saja berhasil menggulingkan pemerintahan Soekarno, jika keberuntungan berpihak pada mereka. Betapa tidak, gerakan operasi militernya berhasil membunuh beberapa petinggi Angkatan Darat, termasuk MenPangad Letjen Ahmad Yani. Kemudian secara politik berhasil mempengaruhi Presiden untuk membenarkan tindakannya. Dan secara internasional mendapat dukungan dari pemerintah Republik Rakyat Cina ( RRC).

Seperti kita tahu, gerakan makar PKI yang terkenal dengan sebutan Gerakan 30 September ( G-30-S / PKI ) itu gagal.  Atas dasar itu Pemerintah – berdasarkan inisiatip Jendral Soeharto – resmi membubarkan dan melarang PKI di wilayah hukum Indonesia. Alasannya jelas : PKI merongrong NKRI dan anti Pancasila.

Adapun HTI, yang belum lama ini dibubarkan oleh Pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto, dituduh mengancam NKRI dan anti Pancasila. Tuduhan itu didasarkan atas sepak terjang HTI yang tegas-tegas menyuarakan pembentukan Khilafah Islam secara internasional. Namun ada yang beda pada HTI, yaitu tidak punya kekuatan politik baik di parlemen maupun di Pemerintahan. Dan tidak pula punya akses ke Tentara Nasional Indonesia ( TNI ).

Jadi cukup kuatkah alasan Pemerintah membubarkan HTI ? Padahal HTI tercatat sebagai ormas resmi yang ber-badan hukum di Indonesia. Dan secara kasat mata belum ada gerakan radikal seperti yang dilakukan oleh PKI. Kecuali unjuk rasa, menyuarakan aspirasi dan mengkritisi Pemerintah. Secara nalar awam, HTI tidak berbahaya. Toh HTI bukan  ISIS, kan… ?*

PUASA MALAH KONSUMTIF ?



Setiap bulan puasa - bahkan sebelumnya – harga-harga kebutuhan sembako cenderung naik, seperti juga bulan puasa 1438 H ini. Kenaikan harga banyak penyebabnya, antara lain tingginya permintaan atau kebutuhan konsumen, dan ulah spekulan yang memanfaatkan momen bulan puasa. Mereka – para spekulan itu – tahu bahwa setiap bulan puasa masyarakat Islam menjadi konsumtif. Karena itu mereka sudah pasang kuda-kuda sebelumnya, dengan cara mengurangi pasokan ke pasaran, atau menimbunnya.

Masalahnya sekarang mengapa masyarakat Islam menjadi konsumtif ? Padahal bulan puasa justeru mengajarkan orang untuk menahan diri. Menahan segala keinginan termasuk lapar dan haus. Jadi seharusnya mereka berhemat, karena sebagian besar waktu digunakan untuk berpuasa.

Di kalangan ibu-ibu ada semacam persepsi yang banyak diiyakan, bahwa pada bulan puasa pengeluaran belanja dapur naik dua kali lipat. Alasannya : mau berbuka harus didahului dengan yang manis-manis. Dan untuk makan sahur harus dihidangkan yang enak-enak, supaya selera makan timbul. Aneh juga …sebab kenyataannya tidak harus seperti itu.

Yang disayangkan, tak jarang ibu-ibu berkeluh kesah, seolah-olah ibadah puasa itu memberatkan. Ini keliru, sebab agama tidak memerintahkan seperti itu. Dari sisi makan-minum, puasa hanya memindahkan jam makan dari siang menjadi malam. Seharusnya lebih hemat, sebab secara alami - bagi manusia - malam waktunya tidur, bukan untuk makan-minum.
Mungkin yang harus direnungkan, sejauh mana makna puasa di bulan Suci ini telah diresapi. Sekali lagi esensi puasa itu menahan diri, dan mengendalikan nafsu sesuai tuntunan-Nya. Tentu saja dengan keikhlasan, kesabaran dan penuh ketaqwaan. Insyaallah masyarakat Islam tidak akan konsumtif, sebab pola konsumtif itu sebenarnya indikasi dari keinginan atau nafsu yang belum terkendalikan…*


Jumat, 26 Mei 2017

BOM MENJELANG RAMADHAN



Beberapa hari menjelang bulan Ramadhan, bom di Kampung Melayu meledak menghenyakkan warga Jakarta dan masyarakat di negeri ini, bahkan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Australia.

Perihal bom, memang bukal hal baru, karena Indonesia sudah berkali-kali mengalami teror bom. Apalagi teror dengan media ini, sudah menjadi trendi di dunia internasional. Yang disesalkan mengapa terjadi menjelang bulan suci Ramadhan, dan pada saat muslim Indonesia baru saja mau “melepas lelah” dari berbagai kemelut, seperti kasus penodaan agama yang melibatkan Ahok, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, dan “kriminalisasi” terhadap Habib Rizieq Shihab tokoh FPI.

Teror bom kerap dikaitkan dengan radikalisme Islam. Karena dalam Islam ada konsep jihad, yaitu berperang di jalan Allah. Mereka yang picik dan terutama tidak suka Islam, menganalogikan teror bom sebagai jihad. Dengan demikian, teror bom kerap dituduhkan sebagai kerjaan orang Islam. Apalagi organisasi teroris yang rajin melakukan teror bom diantaranya adalah ISIS, sebuah organisasi dunia yang mengatasnamakan Islam.

Muslim Indonesia baru saja dibenturkan dengan kelompok sekularisme melalui kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Cukup berat, karena yang dihadapi bukan hanya Ahok seorang, melainkan elit-elit kekuasaan dan tokoh-tokoh parpol yang berada di lingkaran kekuasaan, yang dengan mudah dapat menggerakkan massa.

Kasus bom Kampung Melayu dapat dijadikan peluru untuk menghujat muslim Indonesia yang dituduh intoleransi, radikal, anti Pancasila, anti NKRI dan sebagainya. Jadi mungkin pelakunya, bisa saja mereka yang menyimpan dendam, meski Polisi sudah menyebut ISIS sebagai biang keroknya.

Bulan Ramadhan adalah bulan ujian bagi kaum muslim. Pada bulan ini Allah menguji kualitas ketaqwaan umat Islam, dimana salah satunya adalah kesabaran. Jadi bom Kampung Melayu itu harus dianggap sebagai tes awal. Muslim Indonesia harus mampu menahan diri dan emosi, sehingga tidak mudah terpancing…